Sabtu, 15 Oktober 2016
DEMONSTRAN KARBITAN
DEMONSTRAN KARBITAN
Demonstrasi, unjuk rasa atau apapun namanya buat saya adalah hal yang wajar dalam proses demokrasi. Tidak melanggar hukum asal dilakukan dengan elegan dan tertib. Asal gak norak, gak ngerusak, gak nyampah dan merugikan orang lain.
Tapi waktu lihat foto ini rasanya miris, gondok, kesel, dll... Kekesalan saya bukan karena demo itu sendiri, tapi pada para pendidik kita yang gak punya tanggung jawab. Anak dibawah umur diajak demo dihari sekolah dan jam sekolah pula.
Kalau saya bilang "jangan gunakan anak2 untuk kepentingan politik", eh ada yg membantah katanya ini bukan kepentingan politik tapi agama. Whateverlah alasannya, tp yang jelas anak2 dibawah umur tidak sepantasnya dibawa turun ke jalan untuk demo apalagi di jam sekolah. Coba lihat fotonya, salah satu anak sedang menendang spanduk bergambar tokoh yg didemo. Ini artinya apa? Artinya bibit kebencian telah ditanamkan sejak dini, aksi menendangnya juga petanda tumbuhnya benih-benih radikalisme.
Yang saya gak habis pikir, orang tua yg megang spanduk (entah guru atau siapa saya tak tau) bukannya ngajarin cara mengemukakan pendapat dengan baik eh malah cengar cengir aja.
Bukan soal itu saja, masalah keselamatan juga tidak mereka perhatikan. " Hei kalian demonstran yg membawa anak didiknya, YANG LO BAWA ITU ANAK MANUSIA BUKAN ANAK JENGLOT!" Mikir gak sih berapa besar potensi rusuhnya demo seperti kemarin? Sedikit gesekan aja bisa membakar emosi ribuan orang. Puji TUHAN, syukur alhamdulillah demo kemarin gak pake rusuh. Kalo sampe rusuh lalu terjadi apa2 dengan anak didik, lu mau ngomong apa sama emaknya?
Suatu saat nanti akan ada masanya anak2 ini akan menjadi manusia2 dewasa yang bisa berpikir matang. Itulah waktunya mereka akan menentukan pilihan dan sikap serta memperjuangkan idealismenya. Gak usah dikarbit, biarkan mereka tumbuh sewajarnya. Sekarang waktunya mereka belajar dan bermain, bukan jadi demonstran karbitan!
#otakmanaotak?
#savechildren
#TeachingHateNeverLeadUsToPeace
DEMONSTRASI NYAMPAH
CONTEMPT OF COURT
CONTEMPT OF COURT
Hukum yang ada di dunia dibuat untuk mengatur hubungan horizontal antar manusia. Setiap pelanggaran hukum memiliki konsekuensi hukum dan diadili di pengadilan oleh para hakim. Hakim di dunia berhak memutuskan suatu perkara antar manusia dengan sesamanya dan menetapkan hukuman di dunia bagi para pelanggar hukum tersebut.
Didalam KUHP dan KUHAP ada yang namanya "Contempt Of Court".
Contempt of court adalah setiap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.
Suatu hari nanti kita pun akan menghadapi hari penghakiman terakhir, dimana TUHAN menghakimi segala perbuatan dan tingkah laku kita di dunia. Baik secara horizontal dengan sesama, maupun urusan yg sifatnya vertikal berkaitan dengan keimanan dan ketaatan. Bersalah atau tidak bersalah, perbuatan baik dan dosa, neraka atau surga, hanya TUHAN Sang Hakim Yang Maha Adil yang punya wewenang dalam memutuskan perkara ini.
Jika saat ini ada manusia yang "bermain" sebagai TUHAN untuk menghakimi urusan vertikal seseorang dengan TUHAN nya dengan memberi stempel sesat, kafir, dsb. Maka manusia tersebut telah melewati batas kemanusiaannya, merendahkan martabat serta merongrong kewibawaan Sang Hakim dengan mencuri hak prerogative Sang Hakim. Atau dengan katalain telah melakukan "CONTEMPT OF COURT terhadap pengadilan Yang Maha Tinggi". Dan... Saya yakin Sang Hakim Yang Maha Adil punya hukuman yang layak untuk mereka.
Selasa, 11 Oktober 2016
SAKITNYA TUH DISINI....
Seorang sahabat memandang kepada sahabatnya,
Sudah hebat kau rupanya, mantan mentri calon gubernur pula.
Apa yang dapat kulakukan untuk mendukungmu?
Percayalah menjadi pemfitnahpun aku rela untukmu.
Meski kutau fitnah lebih kejam dari pembunuhan,
Tapi sudahlah biar kutanggung dosa asal kau tak terkalahkan.
Sahabat, lihatlah ini aku sahabatmu,
Menanggung malu dan dosa untukmu.
Jabatan dosenpun kulepaskan,
Sebagai tanda sebuah pengorbanan.
Dapurku tak lagi mengebul,
Pisau dan badikku mulai tumpul.
Ulurkanlah tangan mu, bantulah aku memikul beban hidup karenamu.
Mengapa kini kau memalingkan muka, membantah pertemanan kita?
Bukankah seorang sahabat akan tetap selalu dekat, meski hidupku terasa begitu berat?
Kini ku harus mengemis, untuk mendapat kuasa hukum gratis.
Perih memang seperti teriris-iris, biar mengemis toh harus kulakukan juga.
Padahal kau mantan menteri dan calon gubernur pula.
Tapi apadayaku jika temanku pura-pura lupa.
Jika menjadi sahabat saja kau lupa, maka jika menjabat kaupun pasti lupa.
Lupa akan janji manismu kepada rakyat,
Dan meninggalkan penyesalan yang teramat sangat.
Penyesalan mengapa ku berkorban untukmu,
Mengapa kutanggung dosa untuk jabatanmu.
Sebuah tanggapan atas berita:
http://www.metrotvnews.com/embed/1bVXZA2K
"Semoga sang sahabat menyesal sebelum terlambat"
Sabtu, 08 Oktober 2016
Goreng Menggoreng Isu SARA
Sedihnya melihat bangsaku, hari gini masih aja agama dipolitisir. Isu SARA masih jadi andalan setiap kali mau dekat-dekat pemilihan. Entah pilkada maupun pilpres, isu sara digoreng sampai garing. Membakar mereka yang memang mudah terbakar.
Sebuah rekaman video sepotong (yang memang sengaja dipotong) membakar sebagian masyarakat bangsa ini. Meskipun sudah diklarifikasi dengan rekaman full version yg jelas konteks dan maknanya, tetap saja masih ada yg kepanasan.
Tapi lucunya kok seperti tebang pilih, yang jadi target hanya politikus tertentu yang sedang mencalonkan diri. Jika memang menolak pemimpin yang tidak seiman, sekalian saja cek KTP bossnya di kantor. Kalau tidak seiman, silahkan ambil secangkir kopi dan laptop anda. Ketiklah "Surat Pengunduran Diri". Biarlah anak isteri tak perlu makan, yang penting tidak menjadi munafik. Giliran urusan politik koar-koar sok agamis dengan tafsir yang menurut dirinya sendiri benar, giliran urusan perut tutup mulut.
Ketaatan itu tidak berada dalam grey area, jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak. Ya semuanya kembali lagi kepada tafsiran yang diimani. Jika anda menolak pemimpin yg berbeda keyakinan, maka tolaklah semua orang yang berbeda keyakinan menjadi pemimpin dl aspek kehidupan anda. Jika anda flexible dalam artian siapapun pemimpinnya asal amanah dan tidak korup, maka pilihlah yg amanah dan tidak korup.
Gitu aja kok rempong cyynnnnn...
Kamis, 06 Oktober 2016
LIE TO ME
Yang hobby nonton serial kriminal di fox crime atau axn pasti tau judul film ini. Sebuah serial kriminal yang dibintangi Tim Roth sebagai Dr. Lightman seorang ahli micro expression dan body languange.
Saya hobby banget nonton serial ini disamping serial kriminal lainnya seperti CSI ,Perception, Criminal Mind, dll. Ditemani kopi dan sebungkus rokok saya bisa marathon nonton serial kriminal sampai isteri ngomel-ngomel hehe..
Kasus Jessica yang persidangannya terbuka untuk umum juga jadi serial live yg jd hobby baru saya. Saksi-saksi ahli didatangkan JPU dan PH. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah ahli psikologi forensik dan mikro ekspresi.
Sedikit membingungkan bagi saya, karena sepanjang saya melihat serial luar negri seperti Lie To Me saya tidak pernah melihat dr.Lightman dijadikan saksi ahli di persidangan dan membuat kesimpulan dari hasil analisanya dimuka persidangan.
Saya tidak menentang teori mikro ekspresi namun bagi saya sangat tidak relevan jika dijadikan alat bukti atau sebagai cabang ilmu yang dibahas saksi ahli di muka persidangan. Karena menurut saya bentuknya masih hanya sebatas opini bukan ilmu pasti atau eksak.
Seperti halnya di luar negeri sana, ahli mikro ekspresi biasanya hanya dijadikan alat untuk mencari bukti-bukti otentik lain guna mengungkap kasus. Misalnya menurut ahli tersebut seseorang menyembunyikan informasi atau berbohong, analisa itu disampaikan ke penyidik guna menggali bukti lainnya sehingga sebuah kasus menjadi terang. Jadi bukannya ahli dibawa ke muka hakim untuk menghakimi kalau seseorang berbohong atau tidak, bersalah atau tidak. Tugas penyidik lah mencari barang bukti otentik yg bisa dibawa kepersidangan guna meyakinkan hakim bukannya membawa seorang ahli mikroekspresi kedepan persidangan untuk menilai kebohongan atau kejujuran seseorang dari gerak tubuh dan raut wajahnya untuk meyakinkan hakim.
Gara-gara kasus Jessica ini saya gak bakal datang duluan lagi jika janjian hang out besama teman-teman, gak bakal beliin oleh-oleh lagi, gak bakal close bill duluan (nunggu dibayarin aja wkwkwk), dan gak bakal mau lagi kl belanjaan dibungkus paper bag mending kantong kresek aja, biar gak nutupin cctv hahaha...
Rabu, 05 Oktober 2016
GENDENGMOLOGI
Seperti biasanya, ritual beli kopi dan beli rokok di warung depan komplek, saya lakukan juga kemarin. Begitu keluar gerbang saya lihat ada 3 orang satpam lagi serius nonton tv di pos. Ah tumben satpam komplek saya pada ngumpul bertiga jam segini (udah ampir jam 11 malam), biasanya jam 10an udah tinggal si Ujang satpam yg paling muda, itu jg sambil whatsappan sama si neneng asisten rumah tangga sebelah rumah saya.
Sepulang beli rokok dan kopi, jiwa kepo saya muncul. Saya mampir dulu ke pos satpam, " tumben lu bertiga akur, nonton apaan lu?" Tanya saya. "Eh pak, ini lagi nonton ILC. Kasus Kanjeng Dimas pak.." Jawab pak Deden kepala security komplek saya. "Coba geser dikit, sekalian lu bikin kopi 4 gelas Jang, buat gua sama lu pade" akhirnya saya ikut terdampar di pos satpam dan kemudian tenggelam dalam pembahasan kasus di tv tsb.
Marwah Daud Ibrahim, ketua Yayasan Padepokan Kanjeng adalah seorang yg bisa saya katakan sangat dekat dengan ilmu pengetahuan. Kl tdk salah beliau bahkan mendapatkan gelar doktornya di Washington DC di amrik sana. Orang ini rasional sekali, sangat scientific minded lah.. Tapi tiba-tiba kok jadi begini, ngomong teori transdimensi ngalor ngidul gak jelas serta membela dimas kanjeng yg diduga melakukan penipuan. Saking gregetan saya melihat orang yg rasional tiba-tiba jadi irasional, tiap ibu tsb bicara saya ngedumel sendiri.
"Udah pak, yang waras ngalah" sahut si ujang menanggapi celotehan saya. Akhirnya ILC ditutup dengan sangat menyejukan oleh KH.Hasyim Muzadi mantan ketua PBNU. Saya pulang dengan rokok yang sisa setengah bungkus karena dipalak satpam-satpam komplek, isteri dan anak2 semua sudah larut dalam mimpinya.
Dalam kesendirian saya bersama secangkir kopi LAGI, saya berfikir mungkin benar kata KH Hasyim Muzadi tadi, masyarakat kita sedang sakit. Bayangkan saja seorang dimas kanjeng bisa dengan mudah menipu banyak orang bahkan banyak diantara korbanya adalah seseorang yg punya background pendidikan dan pekerjaan yg luar biasa hebat. Dan modus operandinya hanya dengan trik abal-abal. Jika ini terjadi 20-30 tahun lalu , masih bisa dipahamilah kl ada yg kena penipuan model begini dengan modus penggandaan uang secara magis, tapi sekarang sdh 2016 broerrr...
Teringat kembali kata-kqta si ujang "yang waras ngalah". Mungkin ini sebabnya karena kita kebanyakan mengalah sama yg ga waras, jd sesuatu yg ga waras sudah jadi hal yang lumrah dan akhirnya ketidakwarasanpun menular kepada mereka yg waras. Mungkin udah saatnya kita perlu ilmu baru yg ditambahkan pada kurikulum anak-anak kita yaitu ilmu GENDENGMOLOGI, agar generasi selanjutnya bisa memilah yang mana yg waras dan yang mana yang gendeng alias gila, supaya mereka tidak ikut terkontaminasi dengan semua kegilaan ini.
Pengamat Kasus Kelas Warung
"Bang, rokok *sensor* sebungkus, kopi *sensor* serenceng", ucapku kepada pemilik warung yang sedang serius melihat siaran langsung sidang pembacaan tuntutan kepada Jessica Kumala Wongso di salah satu stasiun tv. " Bang..." kataku sambil menaikan volume suaraku. Si abang masih tak bergeming. Tiba-tiba "T*ik, g*la kali orang-orang ini!!!", teriak si abang. " masa orang begerak begini, mukanya begitu dijadiin bukti persidangan!"
Mungkin maksud si abang adalah mikroekspresi dan body language. Mikroekspresi sendiri sebenarnya diketemukan setengah abad silam oleh Hagaard & Issac dan studi mengenai body language sendiri sepertinya sudah jauh lebih dahulu. Mengenai relevan atau tidaknya dipergunakan dalam memutuskan suatu perkara saya serahkan kepada opini pembaca. Namun bagi saya sendiri, saya tetap berpegang pada pribahasa "don't judge a book by its cover" terkadang apa yg kita lihat belum tentu benar dan belum tentu salah. Dalam persidangan harus ada bukti otentik, bukti yang diperoleh dengan cara yg taat prosedur yg diatur oleh peraturan yang berlaku pada suatu negara.
Masih saya ingat dahulu, ketika masih duduk di bangku sma seorang teman datang berkunjung ke rumah saya. Oma saya berkata jangan terlalu dekat, temanmu kayaknya suka mabuk", padahal teman saya ini anak teralim di sekolah saya, hanya saja matanya memang sayu mirip orang giting atau mabuk.
Dilain waktu saya sedang hang out bersama teman-teman saya, seperti biasa kami bercanda dan dalam candaan tersebut biasanya disertai ejekan yg juga merupakan candaan. Tiba-tiba seorang teman saya yg saya ejek mengerutkan dahinya, bibirnya pun melengkung ke bawah. Saya pikir dia tersinggung, saya langsung minta maaf. Tapi dia berkata "ah elah lo pake minta maaf, sorry td kepala gua gak enak". Rupanya setelah saya tau, teman saya ternyata mengidap lobus temporal epilepsy. Setiap hari dia harus minum obat penahan kejang jenis carbamazepine. Jadi ketika serangan kejang akan datang obat tersebut menahan dan rasanya menurut teman saya dari leher hingga kepala terasa kesemutan. Ini bahasanya teman saya lho, secara medisnya saya kurang paham. Jadi karena sensasi tersebut teman saya jadi punya kebiasaan menahan kejang dengan mengerutkan dahi beberapa detik. Mungkin bisa berbeda efeknya dengan penderita lain. Saya sendiri kurang paham.
Jadi kesimpulan saya ada banyak faktor yg membentuk ekspresi dan gerak tubuh seseorang, terlalu sulit rasanya mengklasifikasi dan memastikan penyebab sebuah ekspresi dari sebuah mahluk TUHAN paling unik (bukan paling seksi yaaaa) bernama manusia.
Kembali ke soal abang warung, kasus kopi ini sepertinya sudah merangsang banyak masyarakat Indonesia untuk lebih paham hukum. Istilah-istilah hukum yg dulu asing, kini sedikit banyak mulai dipahami. Abang warung contohnya, yg kesehariannya hanya belanja kebutuhan warung dan menjaga warung kini sudah menjadi komentator dan pengamat hukum kelas warungan. Ini semua tidak terlepas dari kemajuan teknologi dan informasi yang semakin pesat.
Namun anehnya, ditengah pesatnya kemajuan teknologi ini sebagian orang masih memilih mundur setengah abad untuk mempercayai sebuah teori yang menurut saya sudah tidak relevan dibandingkan menggunakan bukti otentik hasil dari perkembangan teknologi. Misalnya kasus Jessica, bukti cairan lambung yang negatif seakan dikesampingkan dan memilih menggunakan asumsi-asumsi dari pembacaan mikroekspresi.
Lebih parah lagi kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi, korban dugaan penipuan beraroma klenik ini ternyata banyak berasal dari background pendidikan yang luar biasa, title yang berbaris didepan dan belakang namanya, plus sekolah diluar negri pula. Ada apa sebenarnya dengan masyarakat kita? Mungkin benar kata seorang kyai tokoh PBNU di ILC kemarin "masyarakat kita sedang SAKIT".