"Bang, rokok *sensor* sebungkus, kopi *sensor* serenceng", ucapku kepada pemilik warung yang sedang serius melihat siaran langsung sidang pembacaan tuntutan kepada Jessica Kumala Wongso di salah satu stasiun tv. " Bang..." kataku sambil menaikan volume suaraku. Si abang masih tak bergeming. Tiba-tiba "T*ik, g*la kali orang-orang ini!!!", teriak si abang. " masa orang begerak begini, mukanya begitu dijadiin bukti persidangan!"
Mungkin maksud si abang adalah mikroekspresi dan body language. Mikroekspresi sendiri sebenarnya diketemukan setengah abad silam oleh Hagaard & Issac dan studi mengenai body language sendiri sepertinya sudah jauh lebih dahulu. Mengenai relevan atau tidaknya dipergunakan dalam memutuskan suatu perkara saya serahkan kepada opini pembaca. Namun bagi saya sendiri, saya tetap berpegang pada pribahasa "don't judge a book by its cover" terkadang apa yg kita lihat belum tentu benar dan belum tentu salah. Dalam persidangan harus ada bukti otentik, bukti yang diperoleh dengan cara yg taat prosedur yg diatur oleh peraturan yang berlaku pada suatu negara.
Masih saya ingat dahulu, ketika masih duduk di bangku sma seorang teman datang berkunjung ke rumah saya. Oma saya berkata jangan terlalu dekat, temanmu kayaknya suka mabuk", padahal teman saya ini anak teralim di sekolah saya, hanya saja matanya memang sayu mirip orang giting atau mabuk.
Dilain waktu saya sedang hang out bersama teman-teman saya, seperti biasa kami bercanda dan dalam candaan tersebut biasanya disertai ejekan yg juga merupakan candaan. Tiba-tiba seorang teman saya yg saya ejek mengerutkan dahinya, bibirnya pun melengkung ke bawah. Saya pikir dia tersinggung, saya langsung minta maaf. Tapi dia berkata "ah elah lo pake minta maaf, sorry td kepala gua gak enak". Rupanya setelah saya tau, teman saya ternyata mengidap lobus temporal epilepsy. Setiap hari dia harus minum obat penahan kejang jenis carbamazepine. Jadi ketika serangan kejang akan datang obat tersebut menahan dan rasanya menurut teman saya dari leher hingga kepala terasa kesemutan. Ini bahasanya teman saya lho, secara medisnya saya kurang paham. Jadi karena sensasi tersebut teman saya jadi punya kebiasaan menahan kejang dengan mengerutkan dahi beberapa detik. Mungkin bisa berbeda efeknya dengan penderita lain. Saya sendiri kurang paham.
Jadi kesimpulan saya ada banyak faktor yg membentuk ekspresi dan gerak tubuh seseorang, terlalu sulit rasanya mengklasifikasi dan memastikan penyebab sebuah ekspresi dari sebuah mahluk TUHAN paling unik (bukan paling seksi yaaaa) bernama manusia.
Kembali ke soal abang warung, kasus kopi ini sepertinya sudah merangsang banyak masyarakat Indonesia untuk lebih paham hukum. Istilah-istilah hukum yg dulu asing, kini sedikit banyak mulai dipahami. Abang warung contohnya, yg kesehariannya hanya belanja kebutuhan warung dan menjaga warung kini sudah menjadi komentator dan pengamat hukum kelas warungan. Ini semua tidak terlepas dari kemajuan teknologi dan informasi yang semakin pesat.
Namun anehnya, ditengah pesatnya kemajuan teknologi ini sebagian orang masih memilih mundur setengah abad untuk mempercayai sebuah teori yang menurut saya sudah tidak relevan dibandingkan menggunakan bukti otentik hasil dari perkembangan teknologi. Misalnya kasus Jessica, bukti cairan lambung yang negatif seakan dikesampingkan dan memilih menggunakan asumsi-asumsi dari pembacaan mikroekspresi.
Lebih parah lagi kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi, korban dugaan penipuan beraroma klenik ini ternyata banyak berasal dari background pendidikan yang luar biasa, title yang berbaris didepan dan belakang namanya, plus sekolah diluar negri pula. Ada apa sebenarnya dengan masyarakat kita? Mungkin benar kata seorang kyai tokoh PBNU di ILC kemarin "masyarakat kita sedang SAKIT".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar